Cerpen - Mortal

Mortal tak akan bertahan melawan kematian
Tapi kematian tak menyerang mimpi
Mortal dapat terus hidup walau telah menyerah pada kematian
Hanya dalam mimpi seseorang


Keramaian dalam box beroda mengiringi perjalananku berwisata ke pantai. Kombinasi aneh teman seperjalanan ini membuatku benar – benar tak habis pikir. Mereka tersusun dari beberapa teman lama, teman baru, dan temannya teman yang sebelumnya tak pernah menjalin hubungan. Saiful, Bagas, Dian, Dwi, Aku, Radhi, dan Mulya terasa seperti telah dekat dan saling mengenal lama meskipun perjalanan ini merupakan kali pertama bagi beberapa orang dalam rombongan ini bertatap muka.

Radhi merupakan temanku dari SD, lewat perjalanan ini setidaknya butuh 10 tahun untukku bisa bertemu lagi dengan dia. Banyak hal yang ingin aku ceritakan, tapi kenyataannya mulutku hanya bungkam. Kehadiran Mulya disisinya mampu melenyapkan pita suaraku. Entah apa hubungan mereka, beragam spekulasi muncul dalam otakku. Apalagi dia duduk tepat di belakangku dibangku paling belakang bersama Mulya.

Aku mencoba untuk tak memedulikan kelakuan Radhi yang sepanjang jalan terus memainkan rambutku. Bisa jadi kelakuannya isyarat untukku bahwa tak ada apapun di antara mereka, atau itu semua Cuma tingkah isengnya saja. Apapun yang dia pikirkan, aku harap Mulya tak akan salah paham. Meskipun begitu, usapan tangannya dirambutku seakan membayar 10 tahun yang telah berlalu, ada kelegaan muncul dalam benakku. Hal ini membuatku serasa melompati waktu, Demi Putra Zeus, dalam diam aku senang.

“Kita di mana ini Sai?” kecemasan Dwi yang berbuntut jadi kecemasanku dan kita semua. Satu kalimat pendek yang mampu meruntuhkan pikiran - pikiranku. Butuh sekitar 4 jam untuk sampai ke tujuan dalam hitungan normal, tapi ini sudah lebih dari 6 jam tak terlihat tujuan. “Sesuai maps, kita masih on the track kok” kalimat penenang yang bahkan terdengar lebih cemas. Langit lalu yang mengantarkan kita dengan cerahnya, kini berubah muram menjadikan jam 12 siang sepetang jam 6 malam. Suasana menjadi aneh dan jalanan berubah, aku berharap kita hanya tersesat.

Saat ini kecemasan terbalut dalam kesunyian benar – benar menyesakkan mobil. “Putar balik Sai!” Tiba – tiba suara keras terdengar dari balik kepalaku. Mobil segera memutar tanpa butuh penjelasan. Tak lama setelah itu, aku melihat dari kaca spion segerombolan manusia dengan kaki besar tengah berlari ke arah kami. Bagaimana mungkin manusia memiliki kaki sebesar dua kali kepalanya sendiri dan mereka mengejar kami hanya dengan berlari. Ketegangan terjadi di dalam dan di luar mobil, rasanya seperti sedang mencekik diri sendiri. Keadaan berbalik secepat kedipan mata, aku rindu jalanan sepi tadi. Aku tersadar semua terjadi setelah kita putar balik, aku sangat yakin dia tak akan bilang seperti itu tanpa tahu apapun. “Radhi, apa yang sebenarnya terjadi? Aku yakin kamu pasti tahu sesuatu!” keadaan semakin tegang, tapi aku tak kunjung mendengar jawaban. Dooorrrr.....!!! Tiba - tiba terdengar bunyi tembakan dari luar, satu peluru menembus kaca dari belakang hingga depan, beruntung tak ada yang menjadi korban. Adanya senapan membuat keadaan menjadi lebih gawat dari apapun yang pernah kita bayangkan.

“Kita telah masuk ke dimensi lain, di sini kita dianggap mengganggu ketenangan mereka. Untuk bisa keluar, yang harus kita lakukan hanya terus berjalan. Jangan sampai manusia aneh itu menangkap kita atau kita tak akan bisa kembali selamanya” Penjelasan Radhi menjadi jawaban dari puzzle yang tak terpecahkan. Dooorrrrr!! Suara tembakan terdengar lagi untuk kedua kalinya disusul dengan teriakan Mulya yang memekakkan telinga. Aku menoleh ke belakang dan terbelalak melihat darah telah mengalir keluar dari tubuh seseorang di sebelahnya.
“Cepat ambil handuk, tekan bagian yang tertembak. Kita harus menahan laju keluarnya darah!” Sahut Bagas
“Tak bisakah kita menepi sebentar? Radhi sedang terluka”
“Kamu mau kita semua mati!? Tak ada waktu untuk berhenti! Kita harus segera menemukan jalan keluar”

Aku melihat kekhawatiran terlukis jelas diraut muka Mulya, betapa tak berdayanya diriku melihat ini, perasaan ini malah membuatku semakin merasa rendah diri. Aku serahkan handukku pada Mulya untuk menahan darah keluar dari tubuh Radhi. Aku merasa tak ada hal yang baik dalam situasi ini.

Mobil terus melaju tanpa arah dengan satu tujuan yaitu jalan keluar. Setelah tembakan kedua tadi sepertinya manusia aneh itu sudah tak mengejar kita lagi. “mereka sudah tak mengikuti kita lagi” Saiful memastikan keadaan.
“hey! Itu di depan ada rumah sakit, ayo kita..” “terus jalan!” potong Radhi tiba – tiba
Kita semua mengerti, keadaan kita belum aman. Radhi memang mengetahui sesuatu, kita semua tahu itu.

Keadaan kembali sepi, manusia aneh itu benar – benar sudah tidak mengejar kita. Setidaknya ini menandakan kita telah keluar dari wilayahnya. Puluhan menit telah berlalu, tapi tak terlihat ada jalan keluar Berbanding terbalik dengan nyawa Radhi yang mungkin segera menemukan jalan keluar. Jalan keluar seperti apa yang Radhi maksud, mungkinkah macam pintu dengan tulisan exit di atasnya. Menyisir jalanan yang tak kita kenal adalah satu – satunya jawaban, berharap menemukan suatu tanda tertulis jalan keluar.
“Sai cahaya! itu pasti jalan keluar!” teriak Dian berharap itu benar – benar jalan keluar, setidaknya cahaya di depan bisa jadi tempat kita menggantungkan harapan.

Tiba – tiba cahaya itu menghampiri kita, kita termakan cahaya. Seketika mobil berhenti tanpa sempat mematikan mesin, keadaan menjadi sunyi, dan semuanya tak sadarkan diri. “Apakah tadi semua hanya mimpi?” aku bertanya pada diri sendiri seolah aku mengantongi jawaban yang kubutuhkan.
“Tadi bukan mimpi”
“Radhi! Kamu nggak apa - apa kan? Lukamu, tadi banyak darah”
Aku lemas melihat kenyataan, Luka tembak pada pundak Radhi lenyap tak berbekas. Antara lega dan bingung, aku seperti orang linglung.
 “Tidak apa – apa, kita sudah aman”

Aku yakin tadi kita semua dalam bahaya, tapi sekarang semuanya terlalu tenang untuk menganggap kejadian tadi adalah nyata. Apalagi mataku mengirim sinyal pada otak menyampaikan semuanya tidur seperti bayi, menyisakan aku dan Radhi. Aku pusing dan gemetar, aku putuskan keluar dari mobil. Ah.... Pantai, akhirnya kita sampai di tempat tujuan, pantai yang ramai pengujung membuatku yakin aku berada di tempat atau lebih tepatnya dimensi yang benar.

Rupanya Radhi mengikutiku keluar, Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya dan mulutku semenjak keputusannya mengikutiku, sekali lagi dunia kita membisu, tubuhku membatu, keheningan terlalu sibuk menyumpal kita dalam diam. Angin berhenti berhembus menerpa wajahku sama seperti napasku yang berhenti berhembus karena tercekik keheningan.

Aku Rindu, tulis Radhi pada pasir putih tepat di hadapanku. Air mataku tak terbendung setelah aku membaca tulisan pada pasir itu. Hanya suara tangisan yang terus keluar dari mulutku, ingin kuhentikan tangisku tapi perintah otakku sama sekali tak digubris oleh hatiku, untuk ke sekian kalinya lagi – lagi aku membisu. Tiba – tiba tangannya yang besar menyeka poni di keningku “Kamu cantik dengan potongan ini”
“Handuk itu, apakah handuk yang dulu?”
Iya Radhi. Itu handuk yang kamu beri untukku saat aku ulang tahun dulu. Saat yang lain memberi selusin buku dan pensil, kamu memberiku handuk itu dengan rajutan namaku. Tak kuasa kuhentikan tangis yang telah mengambil alih diriku, aku hanya berhasil menjawab tanya itu dalam hati.

Mataku terbuka dan air mata membasahi pipi, tak ada lagi Radhi dan pantai di hadapanku. Aku terbangun dikamarku, semua yang terjadi lagi - lagi hanya mimpi. Dengan kesadaran penuh, degup jantungku masih diburu, semua terjadi nyata sekali. Karena mimpi – mimpiku 10 tahun ini, aku menyadari, tempat mortal dapat hidup di bumi setelah mati satu – satunya adalah di dalam mimpi. Akhirnya aku tahu, Radhi hidup dalam mimpiku.

Komentar

  1. lanjut kak, suka sama cerpennya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siyaap. Ntar postingan baru baca lagi yaaa

      Hapus
  2. Cintacintaan yeaaaay! Haha.

    Mek tp bagus bgt kamu cara nulisnya bisa bawa emosi pembacanya 💙

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangkyuu us. Ntar nek update baru baca lagi yaaak 😶

      Hapus
  3. Cintacintaan yeaaaay! Haha.

    Mek tp bagus bgt kamu cara nulisnya bisa bawa emosi pembacanya 💙

    BalasHapus
  4. Apik camsky lanjutkaaan ☺️

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Never Coming Back

Puisi - Setapak Hidup