Le vent [Part 2]

“Aku telah menemukan embrio yang tepat dan 
telah tumbuh besar menjadi seorang sahabat” - Meka

Angin rupanya telah menjadi teman akrab kami, di mana angin berdendang, refleks kita hanya diam dan menikmatinya. Angin telah membawa kita ke fantasi masing – masing, tiba – tiba terlintas dalam pikir sebuah pertanyaan, dan tanpa membiarkan otak untuk memikirkannya lagi, pertanyaan itu segera terlontar disepasang bibir ini. 

“Bagimu teman dan sahabat itu seperti apa?” Pertanyaan tak biasa dariku telah keluar dari mulutku, berselancar mulus ke gendang telinga lawan bicaraku. Tak berharap banyak mendapat jawaban yang bagus, tanyaku ini mungkin malah seperti basa basi yang basi.

“Bagiku teman adalah embrionya sahabat” jawabnya singkat

Jika teman adalah embrionya sahabat,  berarti sekarang aku telah menemukan embrio yang tepat dan telah tumbuh menjadi sahabat. Yaah.. bagiku, itulah kamu, dirimu, dan semua kepribadianmu.

“Tapi kamu tahu gak ka, hanya dengan lafal yang berbeda, teman dan sahabat. kita yang menggaungkan kesetaraan telah menciptakan jenis kasta dalam pertemanan.”

Sejenak akupun berpikir, mencoba mencari perbedaan didalam persamaan, dan yang berhasil aku temukan adalah apa yang dikatakan Ligar memang masuk akal. Tapi aku tak sependapat, Teman dan sahabat.., mereka sama tapi berbeda, seperti air tawar dan air laut, sama – sama air tapi masa jenis mereka berbeda. “Bukan kasta yang menjadikan mereka berbeda, tapi karena makna” sahutku menanggapi pernyataan Ligar. Sama halnya anggapanku pada Ligar, aku tak bisa menganggapnya hanya sekedar teman. Begitu pula anggapanku kepada orang - orang yang hanya sekedar lewat dalam hidupku, aku tak bisa menganggap mereka sahabatku.

“Bukankah memang begitu jalannya hidup? Setiap orang memaknainya dengan berbeda - beda. Sama halnya setiap orang yang masuk dalam hidup kita, mereka memiliki porsi yang berbeda pula, tak mungkin semuanya mendapatkan hak yang sama kan?” Lanjutku menambahkan jawaban. Aku tak menyangka pertanyaan instanku tadi jadi diskusi serius seperti ini. Mungkin ini terjadi karena keinginan angin, dan sejauh ini anginlah yang telah memilih topik ini.

“Terus.. menurutmu hal besar yang membuat pertemanan atau katakanlah persahabatan bisa hancur itu apa?” Tanya Ligar padaku, dia sama sekali tak mendebatkan argumenku, aku rasa dia juga setuju dengan jawabanku. Aku jadi merasa sedikit pintar dengan pendapatku barusan.

“Apa ya.., Mulut sih kalau menurutku”

“Iya sih, yang namanya mulut memang suka seenaknya, melempar pernyataan sana sini tanpa melihat kanan kiri. Yang mendengarkan semuanya memang telinga tapi entah kenapa sakitnya dirasakan oleh hati. Tak semua leluconpun lucu dan tak semua ucapan enak untuk didengar”

“Maka dari itu, untuk menyelamatkan pertemanan, pihak yang diam selalu dibutuhkan.” Sahutku cepat. Tanpa ada pihak yang diam keseimbangan kehidupan pertemanan sulit untuk dipertahankan paling tidak begitu menurut pandanganku.

Angin kembali berhembus ke arah balkon lantai 2 rumahku dan kembali menerpa wajah kami dengan sentuhan dinginnya. Aku kembali menyeruput kopi saset panasku dan Ligar dengan secangkir coklat panasnya yang belum dia sentuh dari tadi. Dinginnya angin malam membuat obrolan kita menjadi suatu yang menghangatkan ditemani aroma wangi kopi dan coklat yang semerbak karena terpaan angin.

“Tak ada orang yang tak pernah menjadi orang lain” ucap Ligar setelah menikmati coklat panas buatannya sendiri. “sama halnya dengan bunglon, dia bertahan hidup dengan mimikri, itu terjadi untuk beradaptasi mempertahankan diri. Sama halnya dengan manusia yang tak setiap saat menjadi dirinya sendiri” dia melanjutkan.

“yah.. setiap orang punya role model mereka masing – masing apalagi kalau bicara tentang adaptasi, susah – susah gampang” sahutku sambil kembali menikmati kopi panasku. Suatu waktu mungkin aku sendiri tidak benar – benar menjadi diri sendiri. Aku yakin Ligar pun sama denganku bahkan semua orang yang pernah berhubungan denganku atau siapa pun itu.

“Tapi tetap saja, just try to be yourself. Bunglon pun tak selamanya mengubah warna kulitnya kan..” Ligar menambahkan

“Tidak semua perasaan dan pikiran bisa diekspresikan sesuka hati, Kadang kala harus tertawa saat tak ingin tertawa, harus sabar dikala emosi meluap, menjadi tetap ramah dikala dianggap remeh. Di saat seperti itu, bahkan jadi diri sendiri aku pun tak akan mampu”

“Bagiku itu bukan bentuk menjadi diri yang lain, bagiku itu bentuk pertahanan diri alami dari diri sendiri, yang muncul dari diskusi otak dan hati. Entah apa jadinya bersikap tanpa otak, apa juga jadinya berlaku tanpa hati. Kamu sendiri yang bilang, pihak yang diam selalu dibutuhkan” Jawab Ligar mencerahkan, bagaimana bisa aku terdistorsi dengan pikiran - pikiranku sendiri.

“Ya.. pihak yang diam biasanya yang paling merasakan luka” kataku yang semakin kabur dengan pikiran – pikiranku sebelumnya.

“Semua orang pernah sakit hati, tapi tak semua pandai mengobati sakit hati. Seperti yang dikatakan dewi lestari dalam bukunya yang berjudul partikel, manusia memang dirancang untuk terluka. Karena luka manusia memang tak akan ada batasnya, siklus luka akan selalu berputar luka – sembuh – luka – sembuh dan tak akan ujungnya. Bahkan ada yang belum sembuh tapi dia harus kembali merasakan luka.”

“Seorang teman hanyalah manusia biasa sama seperti kita, mereka membuat kesalahan sama seperti kita, hanya yang membuat mereka luar biasa adalah saat - saat mereka bersama kita” Kata Ligar melanjutkan sambil meneguk coklat panas terakhirnya.

“Terus bagimu aku masuk dalam kategori yang mana?”
“Kamu masuk ke dalam semua kategori yang ada didunia”
“jawaban apa itu kayak gitu, ih.. gak jelas, serius ngapa”
“aku bahkan lebih serius dari yang kamu kira tauk”

Ah... Hanya karena tak ingin perasaan memiliki ini muncul dari satu sisi, kebodohanku mengantarkanku pada pertanyaan ini. Setelah yang kita lewati, harusnya aku tak perlu menanyakan pertanyaan bodoh itu tadi. Aku dengan sangat jelas bisa melihat keseriusan diwajahnya, tapi jawaban macam apa barusan.

Percakapan pun terhenti, aku pun berhenti menanggapi bersamaan dengan habisnya minuman hangat kami. Hari semakin malam, jam menunjukkan hampir tengah malam, bersamaan dengan itu, angin berhembus semakin sering, sepertinya angin ingin kembali mengakrabkan diri dengan kami. Aroma wangi kopi dan coklat yang tadi menemani lenyap tak berbau sama sekali. Semakin angin sering berhembus semakin kami ingin tinggal di sini, bahkan dinginnya malam tak mengusik kami sama sekali. Listrik yang sedari tadi menyala tiba – tiba padam, bahkan tak adanya cahaya lampu tak membuat kami beranjak dari tempat ini. Hampir satu jam telah berlalu, waktu kami habiskan dengan banyak bicara dan sesekali diam. Tak ada tanda – tanda listrik akan segera menyala. Langit yang tadinya terlihat tak berbintang yang hanya menjadi pelengkap malam kami, kini menunjukkan ribuan bintangnya dan menjadi pemeran utama disisa malam ini. Cahaya lampu dari bumi menjadi polusi yang berhasil menyembunyikan indahnya bintang malam dari pandang mata sedari tadi. Berkat bintang, aku dan Ligar memutuskan untuk menghabiskan malam di balkon ini bahkan mungkin sampai pagi nanti. 


Bersambung....

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen - Mortal

Never Coming Back

Puisi - Setapak Hidup