Cerpen - Hospital
“Losing someone I
never had, silly but it happened”
Apa yang aku rasakan sekarang
mungkin sebuah perasaan naif dari seorang manusia berjenis kelamin wanita.
Dalam benakku, sangat mungkin untukku merasa kehilangan bahkan saat aku tak
pernah sekalipun memiliki, konyol memang but it’s really happened. Ternyata
menikmati indahnya dia tanpa memilikinya benar – benar sulit, “aku bahagia jika
kamu bahagia” jadi salah satu quote tersulit sepanjang masa. Daripada itu aku
lebih memilih “aku bahagia jika aku adalah bahagiamu”.
Beberapa hari lalu, segala
ingatan indah yang sangat berwarna bersamanya tiba – tiba berubah menjadi film
hitam putih. Belum sempat matahari menunjukkan sinarnya, belum sempat ayam
berkokok pertanda pagi, aku terbangun karena dering handphoneku. Beberapa
panggilan tak terjawab dari nomor ayah Asbel. Melihat layar notifikasi tersebut
meembuatku langsung beranjak dari tempat tidurku untuk menelepon balik,
perasaanku tidak enak. Beberapa detik setelah aku memencet dial phone, orang
diseberang mengangkat panggilanku
“halo om, ada apa telepon subuh subuh begini?”
“Rio, Asbel sekarang dirumah sakit, barusan dia
kecelakaan” terdengar suara yang bergetar dari seberang telepon.
Sesaat waktu serasa terhenti
untukku, dari jam telepon dan nada om sewaktu berbicara membuatku tak bisa memikirkan
kemungkinan yang lebih baik dari semua kemungkinan – kemungkinan yang muncul
dalam otakku. Untuk sekian detik, keheningan menyelimuti sambungan telepon
kami.
“Om gak apa – apa? Rio kesana sekarang ya, nemenin om.
Dirumah sakit mana om?” cobaku berbicara setenang mungkin.
Tak ada pertanyaan lanjut yang
aku sampaikan, tidak dengan pertanyaan bagaimana kondisi Asbel dan sebagainya,
aku tak siap menerima kemungkinan – kemungkinan yang terlanjur menyelimuti
pikiranku.
“terima kasih ya Rio, om ada dirumah sakit daerah”
Setelah percakapan singkat
ditelepon, aku segera bergegas menuju Rumah Sakit Daerah. Rawannya Indonesia
saat masih gelap tak lagi menakutiku. Satu – satunya yang menakutiku saat ini
adalah keadaan Asbel.
Satu jam berlalu, aku sampai
dirumah sakit dimana Asbel berada. Lagi dan lagi, waktu serasa terhenti untukku
dan membuat kedua kaki serta badanku kaku membatu. Sepengecut ini aku menghadapi
kenyataan, bahkan disaat pikiran – pikiran dalam otakku belum tentu benar. Rio
yang berarti keteguhan tak memberikanku keteguhan disaat yang dibutuhkan. Aku tengok
jam yang berada di dashboard mobil, waktu menunjukkan pukul 3:25 pagi, dengan
tangan dan kaki sedikit gemetar aku paksakan tubuh ini untuk menghadapi
kenyataan. Aku langkahkan kaki keluar mobil yang aku parkir di halaman depan
rumah sakit dan berjalan menuju meja resepsionis menanyakan dimana kamar Asbel
dirawat.
“Pasien Asbel masih diruang operasi” Jawab suster jaga
“oh.. kalau gi..tu.. dimana ruang tunggu untuk keluarga?”
Tanyaku sedikit terbata dan menahan bibir serta tangan yang gemetaran tak
karuan mendengar Asbel sedang dioperasi.
Setelah suster menunjukkan jalan
menuju ruang tunggu keluarga pasien, aku segera bergegas kesana dan melihat
sosok laki – laki sedang tertunduk lesu dikursi tunggu, menunggu anaknya yang
dia gantungkan hidupnya pada tangan dokter yang mengoperasi Asbel saat itu. Berjalanku
kearah pria yang entah kenapa hari itu terlihat lebih tua dari biasanya.
“om..” sapaku padanya
Seketika itu, om langsung berdiri
memelukku dan menangis sejadi – jadinya, aku tak tahu kata apa yang bisa sedikit
menenangkan kesedihan dan kekhawatiran seorang ayah saat melihat anak satu –
satunya sedang berjuang untuk terlepas dari belenggu kematian.
“nggak apa - apa om, Asbel pasti kuat, dia bisa melewati
operasi ini” ucapku pada lelaki yang sedang menunjukkan titik terlemahnya
didepanku berharap dia bisa sedikit merasa lebih tenang. Tapi aku tahu, untuk
saat ini tak ada kata yang lebih menenangkan dibanding ucapan yang keluar dari
mulut dokter dan berkata “operasi berhasil anak anda selamat”.
Sudah dua jam lebih Asbel
berjuang diruang operasi, sejauh ini aku sudah melihat dua kali suster bolak
balik kamar operasi membawa kantong darah tambahan. Disamping itu, tanganku
terus gemetar tak berhenti, pikiranku terasa berat. Aku lihat wajah om yang tampak
sangat kecapaian, aku putuskan untuk pergi sebentar membelikannya minuman.
Dengan langkah gontai aku berjalan
keluar rumah sakit, diujung lorong sepi rumah sakit ku jatuhkan diriku kelantai
karena kaki yang sudah tak kuat untuk menopang badan. Aku genggam tanganku
sendiri berharap bisa meredakan gemetar yang aku alami, tiba – tiba sepasang
tangan ikut menggengam tangan gemetarku ini. Ah.. You, akhirnya bocah ini
sampai juga batinku.You langsung memeluk tubuh lemasku, yang bahkan sudah tak
memiliki tenaga untuk membalas pelukkannya.
“Menangislah” Kata You lirih
Tak ada lagi kata terbata – bata keluar
dari mulutku, karena satu – satunya suara yang keluar dari mulutku hanyalah
suara tangis yang sudah tak bisa terbendung lagi. Aku tenggelamkan wajahku
rapat – rapat dipelukkan You.
Setelah aku berhasil
mengendalikan diriku, aku dan You pergi ke mesin penjual minuman yang ada
didekat pintu masuk rumah sakit, dan kembali ketempat om menunggu. Matahari
sudah mulai memperlihatkan cahayanya, tapi lampu operasi masih terus menyala, operasi
ini seperti tak memiliki akhir, dan waktu berjalan sangat – sangat lambat
untukku, om, dan You.
Sudah empat jam lebih kami
menunggu, tiba – tiba lampu operasi yang sedari tadi menyala akhirnya padam dan
dokter yang bertugas keluar dari ruang operasi.
“Untuk saat ini operasinya berhasil, tapi hasil akhirnya
ditentukan oleh keadaan anak bapak pasca operasi. Kita sama – sama berdoa ya
pak untuk kesembuhan anak bapak” jelas dokter pada om
“kapan dok saya bisa bertemu anak saya?” tanya om yang
sedikit lega dengan keadaan anaknya terdengar dari nada bicaranya, tapi aku
tahu bukan jawaban menggantung seperti itu yang sebenarnya om harapkan.
“setelah ini bapak bisa menemui anak bapak diruang ICU,
tapi anak bapak masih dalam keadaan tidak sadar, dan kapan anak bapak bisa
sadar kami juga tidak bisa memastikan.”
Penjelasan dokter telah
memberikan sedikit angin segar kepada kita, memberikan sedikit kelegaan karena
akhirnya kita masih bisa melihat Asbel bernafas setelah keluar dari ruang
operasinya meskipun ruang operasi bukan akhir perjuangannya.
3 hari berlalu sejak Asbel keluar
dari ruang operasi, belum ada tanda – tanda dia akan siuman. Menit dan jam
terus berlalu, 4 hari, 5 hari, dan 6 hari berlalu, selama itu pula gemetar
ditanganku tak juga mereda. Dihari kesembilan, selepas pengecekan rutin dari
dokter, tiba – tiba tangan yang sedari tadi aku genggam, menggenggam balik
tanganku. Tak ada orang diruangan selain aku dan Asbel, om dan You sedang
keluar mengurus administrasi, ingin segera kutekan tombol panggilan yang
terhubung ke suster jaga, tapi tangan Asbel yang lemas menahanku untuk
melakukannya.
“Asbel bisa dengar aku?”
"Asbel.."
Tak ada suara yang datang membalas
pertanyaanku, tapi tangan Asbel masih terasa nyata terus menggenganggam tanganku. Perlahan
Asbel membuka matanya memperlihatkan kedua bola mata indah miliknya menatapku yang duduk tepat disamping dia berbaring.
“Rio..” Kata pertama yang keluar dari mulutnya membuatku
tak bisa berkata – kata.
Akhirnya dia sadar dari komanya, akhirnya dia melihatku, akhirnya dia menggenggam tanganku, akhirnya ada akhir dari penantian ini.
“tanganmu gemeteran” lanjutnya
“aneh, cewek kok namanya Rio” Kata Asbel padaku dan kemudian tersenyum.
Komentar
Posting Komentar